Tentu dibutuhkan strategi mendasar untuk memecahkan masalah pergulaan Indonesia menyangkut bagaimana memproduksi gula secara memadai baik kuantitas, kualitas maupun kontinyuitas dalam mencapai kemandirian gula nasional tahun 2007 ? pengembangan tebu lahan kering adalah jawabannya.
Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan untuk mempercepat proses pencapaian kuntitas, kualitas, dan kontiyuitas produksi gula menuju kemandirian gula nasional tahun 2007 yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Pertimbangannya, karena selain luas lahannya masih tersedia menurut skala ekonomi, dan potensi sumberdaya yang memungkinkan, juga teknologi proses produksisudah dapat dikuasai dengan baik. Apalagi jika masalah bibit dan penyediaan air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa seperti yang terjadi selama ini.
Pengembangan tebu lahan kering diluar Jawa juga mempunyai keunggulan komparatif yang memungkinkan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebar secara proporsional, sehingga arus urbanisasi yang sangat mencemaskan ini dapat diturunkan kuntitas dan dampaknya.
Masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam proses produksi tebu lahan kering.Ilustrasinya terlihat saat terjadi cekaman air pada waktu kekeringan akhir tahun 2002 sampai awal tahun 2003 yang berdampak terhadap penurunan produksi tebu lahan kering secara drastis. Pada saat itu, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang di tanam periode Mei sampai September mengalami cekaman air (water stress) pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif ( sampai dengan umur 165 hari ). Kekeringan yang terjadi pada fase kritis akan berdampak terhadap penurunan produksi tebu/hektar paling besar dibandingkan fase lainnya yaitu fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen (kandungan gula persatuan berat tebu) meningkat.
Kehilangan hasil akibat kekeringan (water strees) secara kuantitatif menurut FAO (1997) dapat mencapai 40% dari potensi produksinya apabila terjadi pada fase kritis tanaman. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) bekerjasama dengan salah satu perkebunan tebu swasta di Lampung menunjukkan bahwa kehilangan tersebut dapat bervariasi antara 5-45% tergantung saat cekaman dan distribusi curah hujan pada musim kering.
Suatu angka yang sangat fantastis, karena itu berarti hampir setengah potensi hasilnya dapat hilang akibat cekaman air. Padahal kalau dilihat sejarah berdirinya sampai saat sekarang, baru dua tahun belakangan produktivitas tebu (ton cane) menurun dari data- data 90 ton tebu/hektar, sehingga dengan peningkatan rendemen tebu (ton sugar) rata-rata yang sangat kecil (0.5-0.75 ton gula/hektar), maka produksi gula akan mengalami penurunan secara signifikan.
Pendayagunaan sumber daya air untuk menekan resiko kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep “rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”. Berdasarkan karakteristik potensi sumber daya air hujan lahan kering dan hasil simulasi kebutuhan air untuk seluruh fase pertumbuhan tanaman, ternyata secara kuantitas kebutuhan air tebu dapat dicukupi apabila potensi aliran permukaan dapat disimpan pada saat musim hujan dan diistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi (erosion) dan pencucian hara (nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat di gunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun dan parit bertingkat (channel reservoir in cascade).
Irigasi Suplementer pada Tebu Lahan Kering
Pemberian air irigasi suplementer untuk mengurangi intensitas cekaman air dan menekan kehilangan hasil merupakan satu keharusan apabila tebu lahan kering akan dijadikan andalan dalan mencapai kemandirian gula nasional. Hal ini dilakukan karena periode tanam (planting period) tebu lahan kering umumnya dilakukan antara April sampai Oktober, sehingga secara praktis fase kritis tanaman tebu akan mengalami cekaman air karena akan berada pada musim kemarau. Kondisi limpahan radiasi surya yang tinngi akan mempercepat laju fotosintesa, sehingga apabila pasokan irigasi suplementer dapat dilakukan, maka hasil fotosintesis bersih (net photosynthetic yield) tanaman tebu dapat dimaksimalkan. Itulah sebabnya mengapa Lampung yang relatif basah dengan musim kemarau dan hujan yang tegas dipilih untuk pengembangan tebu lahan kering, sehingga diharapkan pasokan irigasi suplementer dapat dipenuhi dari pendayagunaan potensi aliran permukaan dan hujan. Namun sebaliknya apabila aliran irigasi suplementer tidak dilakukan, maka tingginya kehilangan hasil tanaman tebu tidak dapat dielakkan. Berdasarkan hasil penelitian Irianto dan Surmaini (2003), dengan pemberian irigasi suplementer pada tebu lahan kering, maka kehilangan hasil untuk satu siklus tanaman dapat ditekan dari maksimal 45% menjadi 13% (tabel 1). Suatu hasil yang sangat menjanjikan, karena dengan begitu apabila teknologi ini dapat diimplementasikan secara nasional, maka produksi dan kemandiran gula nasional akan lebih dipercepat pencapaiannya.
Peningkatan kemampuan produksi tebu lahan kering perlu diimbangi dengan pembaruan peralatan pabrik yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian efisiensi produksi dan pengolahan tebu dapat dioptimalkan, bahkan dengan peralatan baru,maka kualitas gula dapat di skenariokan sesuai dengan kebutuhan. Komitmen pemerintah yang sudah mulai terlihat dalam penyediaan bibit bermutu perlu terus di tingkatkan dengan peremajaan mesin pabrik serta perhitungan rendemen yang transparan, sehingga pendekatan menyeluruh dalam pergulaan nasional dapat dilakukan dengan simultan.
G a t o t I r i a n t o P h D Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 20 Agustus 2003)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar