Senin, 20 Desember 2010
Syukuran Tutup Tebang Ke 33 Tahun 2010
Semoga di tahun ke depan kita menjadi lebih baik lagi,,,amin...
Selamat Berlibur,,,,,,,,,,,,,,kita ber happy - happy holiday dulu,,, ahhhhhhhhhh
Kamis, 16 Desember 2010
Hama Tebu,,
Kebo,,,juga menjadi hama yang sangat merugikan untuk tanaman tebu,,di Divisi III
Tolong dunk,,minta solusinye,,,
Kamis, 09 Desember 2010
Sudah Hijrahkah Kita…?
( JalalludinBasri,SE. )
Plantations Area III
Sahabat, bersyukurlah kita masih diberi kesempatan melanjutkan hidup, dapat memasuki Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram 1432 H (07 Desember 2010) dan itu sebabnya, tiap saat kita wajib bersyukur mengucapkan “Alhamdulillãh. Tahun Hijriah adalah tahun hijrahnya Nabi saw ke Madinah, ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab sebagai awal kalender Islam berdasarkan perputaran bulan-bumi. Tahun hijrahnya Rasulullãh membawa agama Islam dari Makkah keMadinah, sampai keseluruh dunia sekarang, itu berarti sudah 1432 tahun.
Pergantian tahun itu merupakan bagian dari kekuasaan Allãh SAW. “Sesungguhnya dalam penyiptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allãh bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran [3]: 191.Artinya, atas Rahmat dan Karunia-Nya-lah, dunia belum kiamat, masih ada pergantian siang, malam, jam, hari, pekan, bulan, tahun, serta segalanya masih berjalan seperti seharusnya.
Kita masih dapat bernapas, berkedip, berjalan, makan-minum, dan seterusnya, sungguh tidak terhingga nikmatnya.
Sebab, kalau kita sudah mati semua yang di dunia itu tak ada gunanya.
Pertanyaannya, sudahkah kita bersyukur kepada Allãh sebagai ibadah hamba kepada Khaliknya? CamkanFirman-Nya, “Demi matahari dan sinarnya di pagihari. Demi bulan apa bila dia mengiringi. Demi siang apa bila dia menampakkan diri .Demi malam apa bila dia menutupi. Demi langit serta binaannya. Demi bumi serta penghamparannya .Demi jiwa dengan segala penyempurnaan ciptaan-Nya.Allãh mengilhamisukma, keburukan dan kebaikan.Beruntunglah siapa yang membersihkannya, rugilahsiapa yang mengotorinya,”(QS as-Syams [91]: 1-10).Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai membersihkan jiwa-raga-sukmanya.Amin.
Hijrah = Berubah Lebih Baik Lagi
Dalam Sejarah Islam, peristiwa hijrahnya Rasulullãh Muhammad saw. bersama Abu Bakar ash-Shidiq r.a. dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak barus ejarah Islam. Peristiwa tersebut oleh Khalifah Umar bin Khaththabr.a. ditandai sebagai awal Kalender Islam berdasarkan perhitungan bulan mengelilingi bumi.
Dalam makna ini, hijrah dibedakan menjadi Hijrah Makaniah dan Hijrah Maknawiah. Hijrah makaniah berarti berpindah secara fisik meninggalkan satu wilayah menuju wilayahlain yang lebih baik. Kebanyakan ayat tentang hijrah bermakna makaniah.“Dan siapa yang berhijrah di jalanAllãh, niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezeki yang makmur,”(QS an-Nisã’ [4]:100).
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalanAllãh, kemudian mereka terbunuh atau mati, sudah tentu Allah akan mengaruniakan kepada mereka limpahkurnia yang baik,”(QS al-Hajj [22]: 58).
Sedangkan hijrah secara maknawiah ditegaskan dalam Firman-Nya,“Dan berkatalah Ibrahim,‘SesungguhnyaakusenantiasaberhijrahkepadaTuhanku; sesungguhnyaDialah Yang MahaperkasalagiMahabijaksana’,” (QS al-Ankabût [29]: 26).
“Dan perbuatan dosa tinggalkanlah,”(QS al-Muddatstsir [74]: 5).
Beberapa bentuk hijrah maknawiah adalah meninggalkan kekufuran menuju keimanan.
Meninggalkan syirik menuju tauhid (mengesakan Allãh).Meninggalkan kufur nikmat menjadi pandai bersyukur, dari kehidupan jahiliah kekehidupan Islami, dari sifat-sifat munafik, plin-plan, jadi istiqamah, amanah.
Hijrah juga berarti berpegang kuat kepada nilai kebenaran dan keadilan .Meninggalkan perbuatan,makanan, pakaian haram menjadi hidup halalan thayyiban.Meninggalkan maksiat dengan tobat, kemalasan jadi rajin dan produktif.
Intinya, hijrah Rasulullãh adalah perubahan dari yang (kurang) baik menjadi lebih baik lagi, semata-mata karena setiap kebaikan datangnya pasti dari Allãh. Untuk meraih ridha Allãh, Rasulullãh bersabda, “Barang siapa yang berhijrah untuk Allãh dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allãh dan Rasul-Nya.Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia dan untuk menikahi wanita maka hijrahnya itu untuk apa yang diniatkannya,”(HR Bukhari)
Untuk itu, Sahabat, mari kita maknai Tahun Baru Hijriah kali ini dengan perubahan sikap dan perbuatan kita kearah dan tujuan hidup yang lebih jelas, terencana, istikamah, fokus, dan selalu berpegang kepada al-Quran dan sunah Rasulullãh. Jangan lupa, selalu waspada atas godaan dan rintangan yang menghadang jalan kita.
Selamat berhijrah.
Selamat tahun baru. Sukses dan sukses selalu…..!
Rabu, 08 Desember 2010
Proses pembuatan gula
Persiapan bahan baku pembuatan gula tebu
Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tebu ini termasuk jenis rumput-rumputan. Tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3 meter di kawasan yang mendukung. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun.
Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau menggunakan mesin-mesin pemotong tebu. Daun kemudian dipisahkan dari batang tebu, kemudian baru dibawa kepabrik untuk diproses menjadi gula.
Tahapan-tahapan dalam proses pembuatan gula dimulai dari penanaman tebu, proses ektrasi, pembersihan kotoran, penguapan, kritalisasi, afinasi, karbonasi, penghilangan warna, dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ketangan konsumen.
Ekstraksi
Tahap pertama pembuatan gula tebu adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Caranya dengan menghancurkan tebu dengan mesin penggiling untuk memisahkan ampas tebu dengan cairannya. Cairan tebu kemudian dipanaskan dengan boiler. Jus yang dihasilkan masih berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah dari lahan, serat-serat berukuran kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman, semuanya bercampur di dalam gula.
Jus dari hasil ekstraksi mengandung sekitar 50 % air, 15% gula dan serat residu, dinamakan bagasse, yang mengandung 1 hingga 2% gula. Dan juga kotoran seperti pasir dan batu-batu kecil dari lahan yang disebut sebagai “abu”.
Pengendapan kotoran dengan kapur (Liming)
Jus tebu dibersihkan dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran , kemudian kotoran ini dapat dikirim kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming.
Jus hasil ekstraksi dipanaskan sebelum dilakukan liming untuk mengoptimalkan proses penjernihan. Kapur berupa kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan yang diinginkan dan jus yang sudah diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengendap gravitasi: sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir melalui clarifier dengan kelajuan yang rendah sehingga padatan dapat mengendap dan jus yang keluar merupakan jus yang jernih.
Kotoran berupa lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi) dimana jus residu diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum dikeluarkan, dan hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini kemudian dikembalikan ke proses.
Penguapan (Evaporasi)Setelah mengalami proses liming, proses evaporasi dilakukan untuk mengentalkan jus menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap panas (steam). Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi.
Jus yang sudah jernih mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula jenuh (yaitu cairan yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki kandungan gula hingga 80%. Evaporasi dalam ‘evaporator majemuk' (multiple effect evaporator) yang dipanaskan dengan steam merupakan cara yang terbaik untuk bisa mendapatkan kondisi mendekati kejenuhan (saturasi).
Pendidihan/ KristalisasiPada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam wadah yang sangat besar untuk dididihkan. Di dalam wadah ini air diuapkan sehingga kondisi untuk pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di dalam alat sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti pada proses mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan.
Larutan induk hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya, materi-materi non gula yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini terutama terjadi karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil pecahan sukrosa. Olah karena itu, tahapan-tahapan berikutnya menjadi semakin sulit, sampai kemudian sampai pada suatu tahap di mana kristalisasi tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Sebagai tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya, maka terbuatlah produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau ke industri penyulingan untuk dibuat alkohol (etanol) . Belakangan ini molases dari tebu di olah menjadi bahan energi alternatif dengan meningkatkan kandungan etanol sampai 99,5%.
PenyimpananGula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi karena kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan lebih lanjut ketika sampai di negara pengguna.
Afinasi (Affination)Tahap pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses yang dinamakan dengan “afinasi”. Gula kasar dicampur dengan sirup kental (konsentrat) hangat dengan kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan sirup sehingga tidak akan melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan (coklat). Campuran hasil (‘magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari sirup sehingga kotoran dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang siap untuk dilarutkan sebelum proses karbonatasi.
Cairan yang dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung berbagai zat warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan gula lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses.
KarbonatasiTahap pertama pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk membersihkan cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini beberapa komponen warna juga akan ikut hilang.
Salah satu dari dua teknik pengolahan umum dinamakan dengan karbonatasi. Karbonatasi dapat diperoleh dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, Ca(OH)2] ke dalam cairan dan mengalirkan gelembung gas karbondioksida ke dalam campuran tersebut.
Gas karbondioksida ini akan bereaksi dengan lime membentuk partikel-partikel kristal halus berupa kalsium karbonat yang menggabungkan berbagai padatan supaya mudah untuk dipisahkan. Supaya gabungan-gabungan padatan tersebut stabil, perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kondisi-kondisi reaksi.
Gumpalan-gumpalan yang terbentuk tersebut akan mengumpulkan sebanyak mungkin materi-materi non gula, sehingga dengan menyaring kapur keluar maka substansi-substansi non gula ini dapat juga ikut dikeluarkan. Setelah proses ini dilakukan, cairan gula siap untuk proses selanjutnya berupa penghilangan warna.
Selain karbonatasi, t eknik yang lain berupa fosfatasi. Secara kimiawi teknik ini sama dengan karbonatasi tetapi yang terjadi adalah pembentukan fosfat dan bukan karbonat. Fosfatasi merupakan proses yang sedikit lebih kompleks, dan dapat dicapai dengan menambahkan asam fosfat ke cairan setelah liming seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Penghilangan warnaAda dua metoda umum untuk menghilangkan warna dari sirup gula, keduanya mengandalkan pada teknik penyerapan melalui pemompaan cairan melalui kolom-kolom medium. Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi granular [granular activated carbon, GAC] yang mampu menghilangkan hampir seluruh zat warna. GAC merupakan cara modern setingkat “bone char”, sebuah granula karbon yang terbuat dari tulang-tulang hewan.
Karbon pada saat ini terbuat dari pengolahan karbon mineral yang diolah secara khusus untuk menghasilkan granula yang tidak hanya sangat aktif tetapi juga sangat kuat. Karbon dibuat dalam sebuah oven panas dimana warna akan terbakar keluar dari karbon.
Cara yang lain adalah dengan menggunakan resin penukar ion yang menghilangkan lebih sedikit warna daripada GAC tetapi juga menghilangkan beberapa garam yang ada. Resin dibuat secara kimiawi yang meningkatkan jumlah cairan yang tidak diharapkan.
Cairan jernih dan hampir tak berwarna ini selanjutnya siap untuk dikristalisasi kecuali jika jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan konsumsi energi optimum di dalam pemurnian. Oleh karenanya cairan tersebut diuapkan sebelum diolah di panci kristalisasi.
PendidihanSejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya kristal gula. Sejumlah bubuk gula ditambahkan ke dalam cairan untuk mengawali/memicu pembentukan kristal. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari kristal-kristal dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi untuk memisahkan keduanya.
Proses ini dapat diumpamakan dengan tahap pengeringan pakaian dalam mesin cuci yang berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap untuk didistribusikan.
sumber :http://unikboss.blogspot.com/2010/10/proses-pembuatan-gula.html
Minggu, 05 Desember 2010
Tebu Lahan Kering dan Kemandirian Gula Nasional
Tentu dibutuhkan strategi mendasar untuk memecahkan masalah pergulaan Indonesia menyangkut bagaimana memproduksi gula secara memadai baik kuantitas, kualitas maupun kontinyuitas dalam mencapai kemandirian gula nasional tahun 2007 ? pengembangan tebu lahan kering adalah jawabannya.
Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan untuk mempercepat proses pencapaian kuntitas, kualitas, dan kontiyuitas produksi gula menuju kemandirian gula nasional tahun 2007 yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Pertimbangannya, karena selain luas lahannya masih tersedia menurut skala ekonomi, dan potensi sumberdaya yang memungkinkan, juga teknologi proses produksisudah dapat dikuasai dengan baik. Apalagi jika masalah bibit dan penyediaan air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa seperti yang terjadi selama ini.
Pengembangan tebu lahan kering diluar Jawa juga mempunyai keunggulan komparatif yang memungkinkan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebar secara proporsional, sehingga arus urbanisasi yang sangat mencemaskan ini dapat diturunkan kuntitas dan dampaknya.
Masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam proses produksi tebu lahan kering.Ilustrasinya terlihat saat terjadi cekaman air pada waktu kekeringan akhir tahun 2002 sampai awal tahun 2003 yang berdampak terhadap penurunan produksi tebu lahan kering secara drastis. Pada saat itu, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang di tanam periode Mei sampai September mengalami cekaman air (water stress) pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif ( sampai dengan umur 165 hari ). Kekeringan yang terjadi pada fase kritis akan berdampak terhadap penurunan produksi tebu/hektar paling besar dibandingkan fase lainnya yaitu fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen (kandungan gula persatuan berat tebu) meningkat.
Kehilangan hasil akibat kekeringan (water strees) secara kuantitatif menurut FAO (1997) dapat mencapai 40% dari potensi produksinya apabila terjadi pada fase kritis tanaman. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) bekerjasama dengan salah satu perkebunan tebu swasta di Lampung menunjukkan bahwa kehilangan tersebut dapat bervariasi antara 5-45% tergantung saat cekaman dan distribusi curah hujan pada musim kering.
Suatu angka yang sangat fantastis, karena itu berarti hampir setengah potensi hasilnya dapat hilang akibat cekaman air. Padahal kalau dilihat sejarah berdirinya sampai saat sekarang, baru dua tahun belakangan produktivitas tebu (ton cane) menurun dari data- data 90 ton tebu/hektar, sehingga dengan peningkatan rendemen tebu (ton sugar) rata-rata yang sangat kecil (0.5-0.75 ton gula/hektar), maka produksi gula akan mengalami penurunan secara signifikan.
Pendayagunaan sumber daya air untuk menekan resiko kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep “rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”. Berdasarkan karakteristik potensi sumber daya air hujan lahan kering dan hasil simulasi kebutuhan air untuk seluruh fase pertumbuhan tanaman, ternyata secara kuantitas kebutuhan air tebu dapat dicukupi apabila potensi aliran permukaan dapat disimpan pada saat musim hujan dan diistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi (erosion) dan pencucian hara (nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat di gunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun dan parit bertingkat (channel reservoir in cascade).
Irigasi Suplementer pada Tebu Lahan Kering
Pemberian air irigasi suplementer untuk mengurangi intensitas cekaman air dan menekan kehilangan hasil merupakan satu keharusan apabila tebu lahan kering akan dijadikan andalan dalan mencapai kemandirian gula nasional. Hal ini dilakukan karena periode tanam (planting period) tebu lahan kering umumnya dilakukan antara April sampai Oktober, sehingga secara praktis fase kritis tanaman tebu akan mengalami cekaman air karena akan berada pada musim kemarau. Kondisi limpahan radiasi surya yang tinngi akan mempercepat laju fotosintesa, sehingga apabila pasokan irigasi suplementer dapat dilakukan, maka hasil fotosintesis bersih (net photosynthetic yield) tanaman tebu dapat dimaksimalkan. Itulah sebabnya mengapa Lampung yang relatif basah dengan musim kemarau dan hujan yang tegas dipilih untuk pengembangan tebu lahan kering, sehingga diharapkan pasokan irigasi suplementer dapat dipenuhi dari pendayagunaan potensi aliran permukaan dan hujan. Namun sebaliknya apabila aliran irigasi suplementer tidak dilakukan, maka tingginya kehilangan hasil tanaman tebu tidak dapat dielakkan. Berdasarkan hasil penelitian Irianto dan Surmaini (2003), dengan pemberian irigasi suplementer pada tebu lahan kering, maka kehilangan hasil untuk satu siklus tanaman dapat ditekan dari maksimal 45% menjadi 13% (tabel 1). Suatu hasil yang sangat menjanjikan, karena dengan begitu apabila teknologi ini dapat diimplementasikan secara nasional, maka produksi dan kemandiran gula nasional akan lebih dipercepat pencapaiannya.
Peningkatan kemampuan produksi tebu lahan kering perlu diimbangi dengan pembaruan peralatan pabrik yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian efisiensi produksi dan pengolahan tebu dapat dioptimalkan, bahkan dengan peralatan baru,maka kualitas gula dapat di skenariokan sesuai dengan kebutuhan. Komitmen pemerintah yang sudah mulai terlihat dalam penyediaan bibit bermutu perlu terus di tingkatkan dengan peremajaan mesin pabrik serta perhitungan rendemen yang transparan, sehingga pendekatan menyeluruh dalam pergulaan nasional dapat dilakukan dengan simultan.
G a t o t I r i a n t o P h D Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 20 Agustus 2003)
Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan untuk mempercepat proses pencapaian kuntitas, kualitas, dan kontiyuitas produksi gula menuju kemandirian gula nasional tahun 2007 yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Pertimbangannya, karena selain luas lahannya masih tersedia menurut skala ekonomi, dan potensi sumberdaya yang memungkinkan, juga teknologi proses produksisudah dapat dikuasai dengan baik. Apalagi jika masalah bibit dan penyediaan air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa seperti yang terjadi selama ini.
Pengembangan tebu lahan kering diluar Jawa juga mempunyai keunggulan komparatif yang memungkinkan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebar secara proporsional, sehingga arus urbanisasi yang sangat mencemaskan ini dapat diturunkan kuntitas dan dampaknya.
Masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam proses produksi tebu lahan kering.Ilustrasinya terlihat saat terjadi cekaman air pada waktu kekeringan akhir tahun 2002 sampai awal tahun 2003 yang berdampak terhadap penurunan produksi tebu lahan kering secara drastis. Pada saat itu, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang di tanam periode Mei sampai September mengalami cekaman air (water stress) pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif ( sampai dengan umur 165 hari ). Kekeringan yang terjadi pada fase kritis akan berdampak terhadap penurunan produksi tebu/hektar paling besar dibandingkan fase lainnya yaitu fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen (kandungan gula persatuan berat tebu) meningkat.
Kehilangan hasil akibat kekeringan (water strees) secara kuantitatif menurut FAO (1997) dapat mencapai 40% dari potensi produksinya apabila terjadi pada fase kritis tanaman. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) bekerjasama dengan salah satu perkebunan tebu swasta di Lampung menunjukkan bahwa kehilangan tersebut dapat bervariasi antara 5-45% tergantung saat cekaman dan distribusi curah hujan pada musim kering.
Suatu angka yang sangat fantastis, karena itu berarti hampir setengah potensi hasilnya dapat hilang akibat cekaman air. Padahal kalau dilihat sejarah berdirinya sampai saat sekarang, baru dua tahun belakangan produktivitas tebu (ton cane) menurun dari data- data 90 ton tebu/hektar, sehingga dengan peningkatan rendemen tebu (ton sugar) rata-rata yang sangat kecil (0.5-0.75 ton gula/hektar), maka produksi gula akan mengalami penurunan secara signifikan.
Pendayagunaan sumber daya air untuk menekan resiko kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep “rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”. Berdasarkan karakteristik potensi sumber daya air hujan lahan kering dan hasil simulasi kebutuhan air untuk seluruh fase pertumbuhan tanaman, ternyata secara kuantitas kebutuhan air tebu dapat dicukupi apabila potensi aliran permukaan dapat disimpan pada saat musim hujan dan diistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi (erosion) dan pencucian hara (nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat di gunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun dan parit bertingkat (channel reservoir in cascade).
Irigasi Suplementer pada Tebu Lahan Kering
Pemberian air irigasi suplementer untuk mengurangi intensitas cekaman air dan menekan kehilangan hasil merupakan satu keharusan apabila tebu lahan kering akan dijadikan andalan dalan mencapai kemandirian gula nasional. Hal ini dilakukan karena periode tanam (planting period) tebu lahan kering umumnya dilakukan antara April sampai Oktober, sehingga secara praktis fase kritis tanaman tebu akan mengalami cekaman air karena akan berada pada musim kemarau. Kondisi limpahan radiasi surya yang tinngi akan mempercepat laju fotosintesa, sehingga apabila pasokan irigasi suplementer dapat dilakukan, maka hasil fotosintesis bersih (net photosynthetic yield) tanaman tebu dapat dimaksimalkan. Itulah sebabnya mengapa Lampung yang relatif basah dengan musim kemarau dan hujan yang tegas dipilih untuk pengembangan tebu lahan kering, sehingga diharapkan pasokan irigasi suplementer dapat dipenuhi dari pendayagunaan potensi aliran permukaan dan hujan. Namun sebaliknya apabila aliran irigasi suplementer tidak dilakukan, maka tingginya kehilangan hasil tanaman tebu tidak dapat dielakkan. Berdasarkan hasil penelitian Irianto dan Surmaini (2003), dengan pemberian irigasi suplementer pada tebu lahan kering, maka kehilangan hasil untuk satu siklus tanaman dapat ditekan dari maksimal 45% menjadi 13% (tabel 1). Suatu hasil yang sangat menjanjikan, karena dengan begitu apabila teknologi ini dapat diimplementasikan secara nasional, maka produksi dan kemandiran gula nasional akan lebih dipercepat pencapaiannya.
Peningkatan kemampuan produksi tebu lahan kering perlu diimbangi dengan pembaruan peralatan pabrik yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian efisiensi produksi dan pengolahan tebu dapat dioptimalkan, bahkan dengan peralatan baru,maka kualitas gula dapat di skenariokan sesuai dengan kebutuhan. Komitmen pemerintah yang sudah mulai terlihat dalam penyediaan bibit bermutu perlu terus di tingkatkan dengan peremajaan mesin pabrik serta perhitungan rendemen yang transparan, sehingga pendekatan menyeluruh dalam pergulaan nasional dapat dilakukan dengan simultan.
G a t o t I r i a n t o P h D Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 20 Agustus 2003)
Langganan:
Postingan (Atom)