Minggu, 25 September 2011

Dahsyatnya Cita-Cita

Suatu pagi yang cerah, di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupa, berasal dari keluarga yang mulia. Mereka adalah Abdullah bin Zubair, Mus`ab bin Zubair, Urwah bin Zubeir dan satu lagi adalah Abdul Malik bin Marwan.
Mereka saling mengungkapkan apa yang menjadi obsesinya. Abdullah bin Zubair angkat bicara, “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.” Saudaranya, Mus`ab menyusulnya, “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.” Adapun Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu`awiyah bin Abi Sufyan.” Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, lalu semua mendekati dan bertanya, “bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah memberkahi cita-cita kalian dari urusan dunia, aku ingin menjadi alim [orang berilmu yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabbnya, sunnah nabinya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki jannah dengan ridha Allah l.” Hari-hari berganti serasa cepat. Pada gilirannya, Abdullah bin Zubair menjadi penguasa atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka`bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-citanya dahulu. Mus`ab bin Zubair telah menguasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah, dan akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya. Adapun Abdul Malik bin Marwan, akhirnya menjadi khalifah setelah ayahnya wafat dan bersatulah suara kaum muslimin, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya. (Shuwaru min hayaatit taabi’in, Ra’fat Basya) Begitupun, dengan Urwah bin Zubeir. Beliau menjadi ulama panutan di zamannya. Ibnu Sa’ad dalam thabaqat kedua dari penduduk Madinah menyebutkan, “Urwah adalah seorang yang tsiqah, banyak meriwayatkan hadits, faqih, alim, tsabit dan bisa dipercaya”. (Kitab at-Tahdzib). Bahkan tidak sedikit dari kalangan sahabat Nabi saw yang bertanya kepada beliau tentang ilmu, meskipun beliau seorang tabi’in. Realita tak Jauh dari Cita-cita Kisah keempat remaja itu membuka mata kita, bahwa apa yang didapatkan manusia, tak akan jauh dengan apa yang menjadi obsesinya. Karena obsesi dan cita-cita itu akan menggerakkan pemiliknya menuju tujuannya. Fokus pikiran, tenaga dan potensi yang dimilikinya akan tercurah untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Karena itu, jangan tanggung-tanggung menentukan cita-cita, jangan merendahkan diri untuk menetapkan target dan tujuan. Cita-cita yang biasa saja, akan menjelma menjadi usaha yang apa adanya, dan pada gilirannya hanya akan memanen hasil yang biasa-biasa pula. Padahal Allah menyukai urusan yang tinggi-tinggi, إِنَّ اللهَ تَعاَلَى يُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأُمُوْرِ ، وَيَكْرَهُ سَفاَسَفَهاَ “Sesungguhnya Allah menyukai permasalahan yang tinggi-tinggi dan Allah tidak menyukai hal-hal yang rendah.” [HR. Thabrani] Dalam banyak dalil, Allah dan Rasul-Nya telah memotivasi kita untuk optimis dalam bercita-cita. Perhatikanlah doa orang-orang yang dipuji oleh Allah, “Dan orang orang yang berkata, Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’” [QS. Al Furqan: 74] Kedudukan muttaqin memang sudah istimewa. Tapi ternyata, doa yang dipanjatkan bukan saja menjadi muttaqin, tapi imam atau pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Ini menunjukkan optimisme yang tinggi, himmah dan semangat yang luar biasa untuk meraih derajat yang agung. Nabi juga menganjurkan kita, فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَسَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ ، وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ “Jika engkau memohon jannah kepada Allah, maka mohonlah Firdaus karena Firdaus adalah jannah yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya adalah Arsy Ar-Rahman, dan darinya pula sungai-sungai jannah mengalir..” [HR Bukhari]. Sungguh beruntung orang yang masuk jannah, tak ada sedikitpun yang membuatnya susah atau menderita, meskipun seseorang mendapatkan jannah pada tingkatan yang paling bawah. Tapi, ternyata Nabi menghasung kita memohon kepada kita jannah yang paling tinggi derajatnya. Karena permohonan yang merupakan ungkapan dari cita-cita itu akan mendorong seseorang untuk berusaha mencurahkan segala potensinya untuk meraih tujuannya yang mulia. Sehebat Apakah Cita-Citamu Sekarang, kita lihat seberapa hebat cita-cita kita. Mumpung masih ada waktu untuk merevisinya, masih ada peluang untuk menata ulang rencana dan usaha. Dan sebagai akhir kalam, saya cukupkan Anda dengan satu sampel yang bisa kita jadikan sebagai referensi dalam memancangkan cita-cita. Adalah Imam Ibnu al-Jauzi, sejak kecil memiliki obsesi yang tinggi dalam hal ilmu. Hingga mendorongnya melakukan usaha yang luar biasa, dan hasil yang dicapainya, sulit pula diimbangi oleh orang sezamannya, dan juga setelahnya. Dia bercerita, “Saya merasakan nikmatnya mencari ilmu, hingga penderitaan di jalan ilmu bagi saya lebih manis dari madu, karena besarnya harapan saya untuk mendapatkan ilmu. Di waktu kecil saya membawa bekal roti kering untuk mencari hadits. Saat istirahat di pinggir sungai, saya tidak bisa makan roti itu saking kerasnya. Satu-satunya cara, saya celupkan roti itu ke sungai, baru aku bisa memakannya. Sekali menelan, saya ikuti dengan meminum air sungai. Kesusahan itu tidak terasa, karena yang ada di benakku hanyalah kelezatan saat mendapatkan ilmu.” Adapun hasilnya, beliau pernah memotivasi puteranya dan berkata, “Dengan jariku ini, aku pernah menulis 2000 jilid buku, seratus ribu orang bertaubat, dan ada 20.000 orang yang masuk Islam dengan sebab dakwahku.” Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Kamis, 22 September 2011

" Hari Ulang Tahun KaDiv & Admin Suport Divisi Area III PT. GMP ""

Sekian tahun sudah kehadiranmu mempengaruhi orang-orang sekitarmu, dan setiap perbuatanmu telah membentuk karaktermu, dan setiap langkahmu telah membawamu mendekati atau menjauhi cita-citamu, dan kelak... setiap tarikan nafasmu akan dimintai pertanggungjawabannya, untuk menentukan tempatmu di alam yang abadi... Selamat Ulang Tahun Bp. Ir. Wawan Setiawan & Ibu. Noor Aina N Semoga langkah-langkahmu semakin matang dan selalu membawamu ke arah yang lebih baik.
" SELAMAT ULANG TAHUN "

Selasa, 20 September 2011

SOLIDARITAS AIR BERSIH OLEH DIVISI AREA III PT.GMP

Musim kemarau panjang yang terjadi saat ini, menjadikan beberapa wilayah di Indonesia mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih untuk kebutuhan sehati-hari. Ini pula yang terjadi di desa-desa sekitar PT. Gunung Madu Plantations. Sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas mengadakan pendistribusian bantuan air bersih berlangsung di sejumlah desa. Bantuan tersebut berasal dari sub Divisi Area III yang Hari ini pendistribusian bantuan dipusatkan di Terbanggi Mulya dan Terbanggi Ilir Lampung Tengah. Divisi Area III menyiapkan sekitar 15 tangki (masing-masing 5.000 liter) air bersih sebagai bantuan bagi warga Terbanggi Ilir dan Terbanggi Mulya yang kesulitan mendapatkan air bersih saat musim kemarau seperti sekarang ini. Pendistribusian sudah dilakukan sejak Sabtu (17/9). Dipastikan masih akan ada warga di desa yang bakal mengajukan bantuan air bersih ke PT. Gunung Madu Plantions karena musim kemarau belum berakhir, oleh karena itu berharap banyak perusahaan-perusahan milik pemerintah maupun swasta turut berpatisipasi dengan memberikan bantuan air bersih,"

HALAL BIHALAL 1432 H DIVISI AREA III

Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut HALAL BIHALAL. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu . Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa yang dengan dilandasi iman. Sebagai tradisi tahunan Divisi Area III kembali mengadakan acara Halal bihalal, pada Kamis, 15 September 2011 yang dihadiri oleh seluruh warga Perumahan III PT. GMP. Acara Halal bi halal tahun ini diadakan di GSG ( Gedung Serba Guna ) Perumahan III , Dalam sambutannya Bp. Ir. Wawan Setiawan menyampaikan :
" Kepada para Staff dan karyawan yang ada dilingkungan Divisi III, saya mengajak untuk bersama-sama kita maksimalkan potensi dan kemampuan dalam membangun dan memajukan Gunung Madu secara umum dan terutama Divisi III pada khususnya. Jika dalam pelaksanaan tugas ada hambatan-hambatan, mari kita carikan solusinya sehingga tidak mengganggu kinerja kita.Saya memaklumi bahwa masih banyak yang harus diperbaiki disemua sektor,baik yang teknis maupun yang non teknis. Namun kita tidak boleh menjadikan keterbatasan itu sebagai alasan untuk tidak berprestasi. Pencapaian prestasi harus tetap berjalan seiring dengan upaya perbaikan yang kita lakukan."

Senin, 12 September 2011

Persiapan Mudik Yang Sebenarnya

Oleh : Jalalludin Basri,SE.
PT Gunung Madu Plantations Area III.




Setiap menjelang Idul Fitri, Perumahan – perumahan di Gunung Madu, nampak lengang. Jama’ah di masjid dan musholla mulai berkurang. Jika minggu pertama, masjid-masjid sesak dipenuhi jamaah sholat tarawih maka di penghujung bulan Ramadhan hanya tersisa sekitar satu shaf bahkan kurang dari itu.

Tidak terkecuali pula di masjid Baitul Hikmah Perumahan III, tempat biasa saya shalat. Mulai satu minggu sebelum lebaran, jamaah mesjid tersebut sudah banyak berkurang. Maklum, para karyawan perusahaan ini yang rata-rata perantau mulai libur dan cuti kerja, dan mudik ke kampung halaman.

Mudik adalah kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halaman. Mudik bisa berarti pula kembali ke akar kebudayaan kita, ke tempat dimana kita dilahirkan, di daerah yang menjadi asal muasal keluarga besar. Pada hari raya Idul Fitri, nuansa mudik sudah sangat terasa kental. Persiapan-persiapan bahkan sudah dilakukan dari jauh-jauh hari. Pemesanan tiket bahkan sudah dilakukan dari beberapa bulan sebelumnya, menghindari kenaikan harga yang berlebihan. Pembelian oleh-oleh untuk sanak kerabat di kampung halaman pun dipersiapkan dengan rapi sedemikian rupa.

Mesin-mesin yang tidak pernah berhenti beraktivitas, Pabrik besar yang gegap gempita siang dan malam, akan menjadi sepi dan lengang, ditinggal para pekerja yang biasa mengisi kesibukanya. Susah payah kondisi perjalanan tidak menghalangi niatan untuk pulang ke kampung halaman; letih, lelah, dan tenaga yang terkuras, direlakan; membengkaknya biaya perjalanan dan biaya yang dihabiskan, memang sudah diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi sebagian orang, mereka bahkan rela mengirit pengeluaran sehari-hari, agar dapat menabung guna memenuhi biaya perjalanan beserta segala pernak-pernik perjalanan mudiknya.

Tradisi mudik di Indonesia adalah urusan yang sangat besar dan sangat menyibukkan. Tidak tanggung-tanggung pemerintah harus menyiapkan dan menjamin kelancaran arus mudik lebaran, dari tentang armada atau angkutan lebaran sampai ke urusan stabilitas sembako. Begitupun para media televisi,radio majalah dan koran tidak ketinggalan tiap waktu mewartakan arus mudik ini.

Tradisi mudik pada Idul Fitri pada dasarnya mengandung nilai positif. Karena di sinilah kita bisa berkunjung dan menyambung silaturrahim dengan orangtua, sanak saudara, kerabat dan handaitaulan di kampung halaman. Mereka saling mengunjungi dan bermaaf-maafan. Bisa kita bayangkan apabila tidak ada lebaran dan tradisi mudik, berapa banyak orang yang kehilangan sanak keluarga karena tidak pernah bertemu dan saling silaturrahim. Walau begitu, silaturrahim dan saling memaafkan tidak harus dilakukan di Hari Raya saja, tapi di hari-hari lainpun bisa dilakukan. Yang perlu diingat ketika mudik adalah persiapan bekal. Supaya lancar sampai tujuan maka bekal tersebut perlu disiapkan sebaik-baiknya.

Para pembaca yang budiman, dapatkah kita mengambil pelajaran dari peristiwa mudik di hari raya Idul Fitri tersebut yang sebagian besar masyarakat kita melakukannya setiap tahun? Bicara tentang mudik, kita teringat dengan peristiwa mudik yang akan dialami oleh setiap orang,karena setiap orang hakikatnya adalah perantau. Setiap orang pasti akan mengalami mudik yang seperti ini bahkan banyak dari kita telah mudik mendahului kita. Mudik yang mau tak mau harus kita lakukan. Tidak peduli kita kaya atau miskin, dan baik terpaksa maupun tidak. Tak lain, mudik tersebut adalah mudik ke kampung akhirat, kampung halaman abadi.

Mudik ini adalah mudik yang tidak pernah kembali lagi ke perantauan, karena di sanalah tempat abadi kita. Untuk menuju ke sana hanya ada satu kendaraan, yaitu kematian. Kematian akan menjemput kita. Itulah mudik yang sebenarnya. Akhirat adalah kampung dengan satu pintu, sekali kita melewatinya, maka sudah pasti dan tidak akan mungkin kita bisa kembali lagi ke dunia. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah, “Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang gaib serta yang nyata.” (QS. Al-Jumu'ah:8).

Dalam banyak firman-Nya, Allah selalu mengingatkan kita pada konteks mudik ini. Misalnya, "Kemudian, kepada-Kulah tempat kalian semua pulang" (Tsumma Ilayya Marji'ukum). Maka, tradisi mudik yang hingga kini tak pernah tersentuh dan terpengaruh sedikit pun oleh krisis macam apa pun, termasuk krisis yang tiada henti mendera bangsa ini, sebenarnya menjadi prosesi panjang perjalanan anak manusia menuju Tuhannya. Macam-macam cara ditempuh orang untuk menyiapkan kepulangannya. Pulang ke kampung halaman di dunia ini atau ke kampung halamannya di akhirat kelak. Dua tujuan tersebut, meski sama-sama memiliki perspektif yang berbeda tetapi sungguh sama-sama membutuhkan persiapan, minimal bekal untuk dibawa pulang. Bekal untuk keperluan diri sendiri, atau bekal yang akan kita persembahkan kepada saudara-saudara yang tinggal di kampung. Lantas siapa keluarga kita di akhirat? Mudik ke kampung akhirat, tentu tujuannya cuma satu, "bertemu" dengan Allah SWT (Liqaa'a Robbihi).

Mudik ke kampung halaman menjelang Idul Fitri, sesungguhnya merupakan latihan yang nyata menjelang kepulangan kita selama-selamanya ke pangkuan Ilahi. Tanpa kita sadar, selama sebelas bulan lamanya, berbagai persiapan kita lakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bekal yang akan kita bawa pulang.

Allah selalu mengingatkan kita agar jangan sampai menyesal ketika kematian datang dan kita masih belum punya bekal yang dibawa yang dapat menyelamatkan kita di alam kubur dan alam akhirat kelak. Sebagaimana orang-orang yang menyesal karena saat kematian tiba bekal yang dibawanya merasa tidak cukup dan merengek kepada Allah supaya jangan dimatikan terlebih dahulu, atau kalau pun sudah dimatikan ingin dikembalikan lagi ke dunia. “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?’" (QS.: Al-Munafiqun [63]:10).

Untuk itu saudara ku, sudah seberapa baik perbekalan yang telah kita persiapkan? Bahkan, sudah sampai seberapa siap diri kita untuk menghadapi perjalanan panjang? Imam Ali bin Abi Thalib, pernah berkata, “Sesungguhnya kita berada pada hari dimana hanya ada amal tanpa ada perhitungan, dan sesungguhnya kita menuju hari dimana hanya ada perhitungan tanpa ada amal”.

Oleh karena itu, jadikan setiap detik dalam hidup kita ini menjadi hari-hari pengumpulan bekal mudik ke kampung akhirat kita, dan tidak cukup sampai di situ, jadikan seluruh sisa usia kita, menjadi ajang persiapan mudik ke kampung akhirat, baik dengan beribadah secara vertikal maupun transendental.

Mari kita jadikan dunia ini sebagai ladang untuk mengumpulkan perbekalan mudik kita ke kampung akhirat. Semoga bekal kita mencukupi sehingga kita mendapatkan tempat yang terbaik di akhirat kelak. Begitu teman – teman ......setuju nggak..?!.

Taqobalallah minna waminkum Taqobal yaKarim. Minal Aizin Walfaidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP